Wednesday, December 12, 2012

note: annur is a surah on marriage. go read.

"observing those commands in annur, will allow you to have the light of the heart.
and not keeping them checked, will damage the light. "

huuu. been wanting for an answer, here Allah gives it! jaga benda2 ini!!!
haya', hijab - not just the physical 'awrah' and room dividers, but also the heart!


 marriage is 'ibadah. that by itself, means that (because its the nature of ibadah):
1. there's hardship involved
2. you have to do it for the sake of Allah. making your spouse happy will please Allah, n its 'ibadah.
3. men can sit and argue, have a disagreement. but after that, "what do you want from tim hortons?" women, once they argue, they become like palestine n yahud! need peace treaties, n all that. (LOL!)

for sisters:
1. marriage is 'ibadah.
2. your husband is nothing but a big baby. treat your husband like a baby (extreme care, pay attention, etc).

Sunday, December 9, 2012

muti'ah

suami tu pintu seorg perempuan nak masuk syurga. ni bukan quote mmne. tp what i extracted from this story... hu.

Mutiah dan Keterjagaan Seorang Wanita

9/12/2012 | 25 Muharram 1434 H | Hits: 106
Oleh: Jupri Supriadi
Kirim Print
“Siapa di luar?”
“Aku Faathimah, putri Rasulullah.”
“Ada keperluan apa?”
“Aku ingin bersilaturahim saja.”
“Anda seorang diri atau bersama orang lain.”
“Aku datang bersama dengan putraku, Hasan.”
Ilustrasi. (desainkawanimut.com)
dakwatuna.com - Kira-kira seperti itulah gambaran percakapan yang terjadi antara Faathimah dan Mutiah, di suatu hari di pinggiran kota Madinah. Faathimah hendak menemui Mutiah dengan membawa rasa penasaran karena Ayahnya menyatakan bahwa wanita tersebut adalah wanita yang pertama kali akan memasuki surga. Faathimah kaget, kenapa bukan ia yang dijanjikan pertama kali masuk surga, padahal ia putri kesayangan Rasulullah SAW. Rasa penasaran inilah yang mengantarkan Faathimah mencari-cari rumah Mutiah untuk mengetahui seperti apa sosok wanita tersebut.
“Maaf Faathimah, “ Mutiah melanjutkan perkataannya dari dalam rumah, “Aku belum mendapat izin dari suami untuk menerima tamu laki-laki.”.
“Tapi, Hasan kan masih anak-anak.” Faathimah heran atas penolakan kunjungannya tersebut.
“Meskipun dia masih anak-anak, dia tetap laki-laki, yang aku harus meminta izin pada suamiku terlebih dahulu untuk menerima kunjungannya. Kembalilah esok hari setelah suamiku mengizinkannya.” Tersentaklah Faatimah mendengar argumentasi Mutiah. Namun, ia tak bisa menolak. Faatimah pun kembali pulang dan berencana datang lagi ke rumah Mutiah keesokan harinya.
Pada hari berikutnya, Faathimah datang kembali mengunjungi rumah Mutiah. Namun kali ini ia tidak hanya berdua bersama Hasan, Faathimah juga mengajak Husein yang merengek untuk ikut bersamanya.
Ketika tiba di kediaman Mutiah, terjadi lagi dialog seperti hari pertama, Faathmah mengetuk pintu dan ia mengatakan bahwa kedatangannya kali ini bersama dua orang putranya, Hasan dan Husein.
“Maaf Faathimah, aku belum bisa mengizinkanmu masuk. Suamiku hanya mengizinkan engkau dan Hasan saja yang boleh masuk, sedangkan Hussein, aku belum mendapati izinnya.”
Lagi-lagi, Faathimah takjub atas kesetiaan Mutiah pada suaminya. Ia begitu patuh dan menjaga diri hingga tak ada seorang pun laki-laki yang boleh ditemuinya saat sang suami tidak ada di rumah. Faathimah pun kembali pulang sambil menunggu izin Mutiah untuk bertamu di rumahnya.
Pada hari berikutnya, Faathimah kembali mengunjungi kediaman Mutiah. Kali ini, ia sudah mendapatkan izin untuk masuk ke dalam rumah Mutiah. Faathimah pun bersemangat untuk mengetahui amalan apa saja yang membuat wanita itu disebut-sebut oleh Rasulullah sebagai wanita pertama yang akan memasuki surga.
Selama berkunjung, Faathimah memperhatikan tidak ada aktivitas istimewa yang di lakukan oleh Mutiah selain hanya bolak-balik ruang tamu-dapur. Saat itu, menjelang siang, Mutiah sedang mempersiapkan makan siang untuk suaminya yang bekerja di ladang. Seketika makanan itu telah selesai dimasak, Mutiah kemudian memasukkannya ke dalam wadah. Namun, ada hal aneh yang dilihat oleh Faatimah. Selain, memasukkan makanan ke dalam wadah tersebut, Mutiah juga memasukkan cambuk untuk dibawanya ke ladang saat hendak memberi suaminya makan siang, Karena rasa penasaran itu, Faathimah kemudian bertanya,
“Untuk apa kau bawa cambuk itu, ya Mutiah?”
“Jika suamiku merasakan masakanku kali ini tidak enak, aku ridha dan mengikhlaskan dia untuk mencambuk punggungku.”
“Apakah itu kehendak suamimu?”
“Bukan, itu bukan kehendak suamiku. Suamiku adalah orang yang penuh dengan kasih sayang. Semua ini kulakukan sebagai bentuk baktiku pada suami agar aku tidak menjadi seorang istri yang durhaka padanya. Karena istri yang baik, adalah istri yang setia dan menyenangkan suaminya”
“Ternyata ini rahasianya….” Gumam Faathimah.
“Rahasia apa wahai Faathimah?” Gumaman itu sedikit terdengar di telinga Mutiah.
Faathimah kemudian menjelaskan pada Mutiah terkait ucapan Rasulullah yang mengatakan bahwa Mutiah adalah seorang wanita yang pertama kali akan masuk surga.
Ah, pantas saja kelak Mutiah akan menjadi wanita pertama yang akan memasuki surga, Ia seorang istri yang begitu menjaga kehormatannya serta setia dan penuh kasih sayang pada suami.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/12/25050/mutiah-dan-keterjagaan-seorang-wanita/#ixzz2EZWfRYV2

Friday, December 7, 2012

Menyemai Rumahtangga Berkat

0 Komen Anda
 
Ketika seseorang melaksanakan akad perkahwinan, maka ia kebiasaannya akan mendapatkan banyak ucapan tahniah dan doa dari para tetamu undangan dengan doa keberkatan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw :
“Semoga Allah memberkatimu dan menetapkan keberkatan atasmu dan mengumpulkan kamu berdua dalam kebaikan.”
Doa ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa perkahwinan sepatutnya akan mendatangkan banyak keberkatan kepada orang yang membinanya.
Namun pada kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkatan hidup berumahtangga setelah berlakunya perkahwinan, samada di kalangan masyarakat umum ataupun di kalangan keluarga pendakwah.
Fenomena tidak wujudnya keberkatan dalam perkahwinan itu dapat dilihat dari berbagai sudut samada yang bersifat kebendaan ataupun bukan.

Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak kurang juga asalnya bermula dari permasalahan ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang tidak mantap yang kemudiannya menyebabkan menurunnya semangat beramal dan beribadah.
Sebaliknya pula, mungkin secara material ianya sangat mencukupi, namun melimpah ruahnya harta dan kemewahan tidak dapat membawa kebahagiaan dalam perkahwinannya.

Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasiti keperibadiannya walaupun sudah berkahwin padahal sepatutnya bagi orang yang sudah berkahwin :
  1. Keperibadiannya seharusnya semakin sempurna.
  2. Dari segi wawasan dan kefahaman sepatutnya semakin luas dan mendalam.
  3. Dari segi fizikal, sepatutnya semakin sihat dan kuat.
  4. Dari sudut emosi, sepatutnya semakin matang dan dewasa.
  5. Seharusnya menyerlahkan keterampilan dalam beramal.
  6. Sentiasa bersungguh-sungguh dalam bekerja.
  7. Teratur urusan dan aktiviti kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekelilingnya.
Realiti lain juga menunjukkan tidak wujudnya keharmonian dalam kehidupan keluarga di mana sering munculnya :
  1. Konflik antara suami dan isteri yang berakhir dengan perceraian.
  2. Anak-anak yang terbiar hasil dari keluarga yang bermasaalah sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan dadah.
Semua ini menunjukkan bahwa tidak wujudnya keberkatan dalam kehidupan berumahtangga.

Dalam kita memerhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumahtangga sebagaimana yang tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan 'introspeksi’ (muhasabah) terhadap diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqamah) dalam memegang teguh petunjuk-petunjuk berikut agar tetap mendapatkan keberkatan dalam meniti kehidupan berumahtangga.

PERTAMA : MELURUSKAN NIAT / MOTIVASI


Motivasi berkahwin bukanlah semata-mata untuk memuaskan keperluan biologi / fizikal tapi ianya merupakan salah satu tanda kebesaran Allah swt sehingga memiliki nilai suci dan signifikan sebagaimana yang diungkap dalam Al Qur’an :
“Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, bahawa Ia menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikanNya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir.” (QS Ar Rum : 21)
Selain itu, perkahwinan juga merupakan perintah Allah swt :                                    
“Dan kahwinkanlah orang-orang bujang (lelaki dan perempuan) dari kalangan kamu, dan orang-orang yang soleh dari hamba-hamba kamu, lelaki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari limpah kurniaNya kerana Allah Maha Luas (rahmatNya dan limpah kurniaNya), lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur : 32)
Ayat di atas memberi pengertian bahwa perkahwinan adalah suatu aktiviti yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul saw dalam kehidupan sebagaimana yang ditegaskan dalam salah sebuah hadits :
“Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk berkahwin, lalu ia tidak berkahwin maka tidaklah ia termasuk golonganku.” (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Oleh kerana perkahwinan merupakan sunnah Rasul saw, maka selayaknya proses menuju perkahwinan, tatacara perkahwinan dan bahkan kehidupan pasca perkahwinan perlu mencontohi Rasul saw.
Misalnya :
  1. Ketika hendak menentukan pasangan hidup, ia hendaklah lebih mengutamakan kriteria ‘Ad Deen’ (agama / akhlak) sebelum perkara-perkara lainnya seperti kecantikan, ketampanan, keturunan dan harta.
  2. Ketika dalam proses untuk berkahwin (walimatul ‘urush) hendaklah juga dihindarkan hal-hal yang melibatkan pembaziran, tradisi yang menyimpang atau khurafat serta keadaan bercampur baur antara lelaki dan perempuan (ikhtilath).
  3. Kehidupan berumahtangga pasca perkahwinan hendaklah diusahakan agar dapat membiasakan diri dengan adab dan akhlak seperti yang dicontohkan olehRasulullah saw.
Berkahwin merupakan usaha bagi menjaga kehormatan dan kesucian diri, ertinya seseorang yang telah berkahwin semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya.
Allah swt akan memberikan pertolongan kepada mereka yang mengambil langkah ini sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadits :
“Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang berkahwin kerana ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR Tirmizi)Berkahwin juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan keperibadian muslim (Syakhsiyah Islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, ertinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (Usrah Islami) yang diwarnai oleh akhlak Islam dalam segala aktiviti dan interaksi antara seluruh anggota keluarga sehingga mampu menjadi rahmat untuk seluruh alam bagi masyarakat sekitarnya. Dengan wujudnya keluarga-keluarga muslim pembawa rahmat, ianya diharapkan dapat mewujudkan komuniti dan lingkungan masyarakat yang sejahtera.

KEDUA : SALING BERSIKAP TERBUKA
Secara fizikalnya, suami isteri telah dihalalkan oleh Allah swt untuk saling terbuka ketika ‘jima’’ (hubungan kelamin), padahal sebelum perkahwinan, hal itu adalah sesuatu yang diharamkan.
Maka pada hakikatnya, keterbukaan itu pun mesti diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah) dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk) sehingga masing-masing secara utuhnya dapat mengenal hakikat keperibadian suami / isterinya dan dapat memupuk sikap saling percaya (tsiqah) di antara keduanya.

Perkara itu boleh dicapai apabila suami / isteri saling terbuka dalam segala perkara yang menyangkut perasaan dan keinginan, idea dan pendapat serta sifat dan keperibadian.
Jangan sampai berlaku seorang suami / isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya disebabkan prasangka buruk atau kerana kelemahan / kesalahan yang ada pada suami / isteri.
Jika perkara yang sedemikian berlaku, suami / isteri hendaklah segera membuat introspeksi (muhasabah) dan mencari penyebab kepada masalah atas dasar cinta dan kasih sayang dan seterusnya mencari jawaban bersama untuk penyelesaiannya.
Namun, jika perasaan tidak enak itu dibiarkan maka akan menyebabkan interaksi suami / isteri menjadi tidak sihat dan berpotensi untuk menjadi sumber konflik yang berpanjangan.

KETIGA : SIKAP TOLERANSI
Dua insan yang berbeza latar belakang sosial, budaya, pendidikan dan pengalaman hidup bersatu dalam perkahwinan, tentunya akan menyebabkan timbulnya perbezaan-perbezaan dalam :
  1. Cara berfikir.
  2. Memandang suatu permasalahan.
  3. Cara bersikap dan bertindak.
  4. Selera diri yang menyangkut makanan, pakaian dsb.
Potensi perbezaan tersebut apabila tidak ditangani dengan sikap toleransi, akan menjadi sumber konflik atau perdebatan.
Oleh kerana itu suami / isteri masing-masing perlulah mengenali dan menyedari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya umpama pakaian sepertimana yang Allah swt sebutkan dalam Al Qur’an:
“…Isteri-isteri kamu itu adalah sebagai pakaian bagi kamu dan kamu pula sebagai pakaian bagi mereka…” (QS Al Baqarah : 187)
Maka, suami / isteri mesti mampu untuk mempercantikkan penampilan, ertinya berusaha memupuk kebaikan yang ada dan menutup aurat ertinya berusaha mengurangkan segala kelemahan / kekurangan yang ada.

Prinsip ‘pakaian’ dalam ayat di atas antara suami dan isteri perlu sentiasa dipegang kerana pada hakikatnya suami / isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak boleh dipandang secara terpisah.
Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan bagi isteri, begitulah sebaliknya; dan kekurangan / kelemahan apapun yang ada pada suami merupakan kekurangan / kelemahan bagi isteri; sehingga munculnya rasa tanggungjawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.

Sikap toleransi juga menuntut adanya sikap memaafkan yang meliputi tiga (3) tingkatan, iaitu :
  1. ‘Al ‘Afwu’ iaitu memaafkan orang jika memang diminta.
  2. ‘As-Shofhu’ iaitu memaafkan orang lain walaupun tidak diminta.
  3. ‘Al-Maghfirah’ iaitu memintakan ampun pada Allah untuk orang lain.
Dalam kehidupan rumahtangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan yang melekat sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami / isteri kadangkala menjadi sebab awal kepada konflik yang berlarutan.
Tentu sahaja “memaafkan” bukan bererti “membiarkan” kesalahan terus berlaku, tetapi memaafkan bererti berusaha untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.

KEEMPAT : KOMUNIKASI

Tersekatnya saluran komunikasi antara suami dan isteri atau ibubapa dan anak dalam kehidupan rumahtangga akan menjadi titik pertama kepada kehidupan rumahtangga yang tidak harmoni.
Komunikasi adalah sangat penting di samping ianya akan meningkatkan jalinan cinta kasih, ia juga mampu menghindarkan dari berlakunya kesalahfahaman.

Kesibukan masing-masing janganlah sampai membuatkan komunikasi suami dan isteri atau ibubapa dan anak menjadi terputus.
Banyak suasana dan kesempatan yang boleh dimanfaatkan sehingga waktu pertemuan yang sedikit mampu memberikan kesan yang baik dan mendalam iaitu dengan cara :
  1. Memberikan perhatian (empati).
  2. Kesediaan untuk mendengar.
  3. Memberikan respon berupa jawaban atau alternatif penyelesaian.
Kesempatan-kesempatan ini boleh dimanfaatkan ketika :
  1. Bersama selepas menunaikan solat berjamaah.
  2. Bersama belajar.
  3. Bersama makan malam.
  4. Bersama bercuti.
dalam interaksi seharian, samada secara langsung ataupun tidak langsung dengan memanfaatkan wasilah telekomunikasi berupa surat, telefon, e-mail, dsb.

Al Qur’an dengan indahnya menggambarkan bagaimana proses komunikasi ini berlangsung dalam keluarga Nabi Ibrahim as :
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Wahai bapaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS As Shaffaat : 102)
Pengajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut adalah wujudnya komunikasi timbal balik antara bapa dan anak di mana Nabi Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog iaitu meminta pendapat dari Nabi Ismail dan bukannya menetapkan keputusan.
Hasil dari komunikasi ini, kita lihat :
  1. Wujudnya keyakinan yang kuat di atas kekuasaan Allah.
  2. Adanya sikap tunduk / patuh ke atas perintah Allah.
  3. Wujudnya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah.
Semua jalinan komunikasi ini menjadi sangat berhasil sehingga perintah yang berat dan pada pemikiran biasa adalah sesuatu yang tidak logik tersebut akhirnya dapat dilaksanakan dengan kehendak Allah yang menggantikan Nabi Ismail dengan seekor ‘kibash’ yang sihat dan besar.

KELIMA : SABAR DAN SYUKUR
Allah swt mengingatkan kita dalam Al Qur’an :
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS At Taghabun : 14)
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumahtangga di mana sikap dan tindak tanduk suami / isteri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya :
  1. Dalam bentuk menghalangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung.
  2. Tuntutan wang belanja yang nilainya di luar kemampuan.
  3. Menuntut perhatian dan waktu yang lebih.
  4. Berprasangka buruk terhadap suami / isteri.
  5. Tidak merasa puas dengan pelayanan / nafkah yang diberikan oleh suami / isteri.
  6. Anak-anak yang aktif dan suka menimbulkan suasana ketidaktenangan.
  7. Permintaan anak yang berlebihan.
  8. Pendidikan dan pergaulan anak yang tidak sopan.
Jika perkara-perkara tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, tidak mustahil ianya akan membawa kepada jurang kehancuran rumahtangga.

Dengan kesedaran awal bahwa isteri dan anak-anak memang berpeluang untuk menjadi musuh, maka sepatutnya kita membekalkan diri kita dengan kesabaran.
Sebahagian dari kesabaran adalah keridhaan kita menerima kelemahan atau kekurangan pasangan suami / isteri yang memang di luar kesanggupan masing-masing.
Penerimaan terhadap suami / isteri mestilah penuh sebagai satu “pakej” di mana dia dengan segala perkara yang melekat pada dirinya adalah dia yang perlu kita terima secara utuh. Begitu juga penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya.
Kesabaran merupakan suatu yang asasi dalam kehidupan rumahtangga untuk mencapai keberkatan, sebagaimana satu ungkapan yang bernas seperti berikut :
“Perkahwinan adalah Fakulti Kesabaran dari Universiti Kehidupan”.
Mereka yang lulus dari ‘Fakulti Kesabaran’ akan meraih banyak keberkatan.

Syukur juga merupakan bahagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumahtangga. Rasulullah saw memberitahu uamtnya bahwa ramai di antara penghuni neraka adalah kaum wanita disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suami mereka.

Mensyukuri rezeki yang diberikan oleh Allah melalui penat lelah suami walau sebesar apapun di samping bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain, adalah modal mahal dalam meraih keberkatan.
Begitu juga syukur terhadap keberadaan anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang mesti dipersiapkan.

Dalam keluarga perlu dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukannya semangat “menuntut” kebaikan, sehingga akan timbul suasana kebaikan yang berlebihan. Inilah tanda penambahan kenikmatan dari Allah swt sebagaimana firmannya :
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.” (QS Ibrahim : 7)Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai sebuah kurniaan Allah perlu diwujudkan dalam bentuk mendidik mereka dengan pendidikan ‘Rabbani’ sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan hati serta mampu memikul misi risalah Deen ini untuk masa depan, maka jangan kita sekali–kali merasa bosan untuk sentiasa memanjatkan doa.

Pada intipatinya, keturunan yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota a’yun), iaitu keturunan yang :
  1. Memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thayyibah).
  2. Mempunyai ruhaniyah yang baik (soleh).
  3. Diridhai oleh Allah kerana misi risalah Deen yang diperjuangkannya.
  4. Sentiasa dekat dan bersama Allah swt.
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak-anak dan zuriat kita agar mereka memiliki ‘muwashofaat’ tersebut di samping usaha kita :
  1. Memilih guru yang bagus untuk mereka.
  2. Menghantar ke sekolah yang baik.
  3. Menyediakan lingkungan yang sihat.
  4. Memastikan makanan yang halal dan baik.
  5. Menyediakan kemudahan yang memadai.
  6. Menjadi teladan dalam kehidupan seharian.
  7. Memanjatkan doa untuk kesejahteraan mereka.
KEENAM : SIKAP YANG SANTUN DAN BIJAK
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibarat seperti merawat tanaman, maka perkahwinan dan cinta kasih mestilah juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, di antaranya dengan sikap yang santun dan bijak.
Rasulullah saw menyatakan bahwa :
“Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap isteriku.” (HR Thabrani & Tirmizi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah tangga akan mencipta suatu suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian adalah sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan penyediaan suasana yang kondusif untuk mereka merasa suka tinggal di rumah.

Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata-mata dapat diwujudkan dengan lengkapnya segala kemudahan dan luasnya tempat tinggal, tetapi ianya lebih kepada kewujudan suasana interaktif antara suami-isteri dan ibubapa-anak yang penuh santun dan bijaksana sehingga tercipta suasana yang penuh keakraban, kedamaian dan cinta kasih.

Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari suasana ruhiyah yang mapan. Ketika keadaan ruhiyah seseorang tidak stabil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah, kerana syaitan akan sangat mudah untuk mempengaruhinya.
Oleh kerana itu Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa Taghdhob). Apabila muncul amarah kerana sebab-sebab peribadi, segeralah menahan diri dengan beristighfar dan memohon perlindungan Allah.
Jika masih merasa marah, hendaklah berwudhu’ dan mendirikan solat. Namun apabila muncul marah disebabkan oleh orang lain, berusahalah untuk tetap menahan diri dan berilah maaf, kerana Allah menyukai orang yang suka memaafkan.
Ingatlah, apabila disebabkan sesuatu perkara kita telanjur marah kepada anak / isteri / suami, segeralah minta maaf dan berbuat baiklah sehingga kesan buruk dari marah akan hilang.
Sesungguhnya kesan dari kemarahan sangatlah tidak baik bagi jiwa, samada untuk orang yang marah ataupun bagi orang yang dimarahi.

KETUJUH : KUATNYA HUBUNGAN DENGAN ALLAH
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati dan kemampanan ruhiyah sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah saw :
“Ketahuilah dengan mengingati Allah, hati akan menjadi tenang”. (QS Ar Ra’du : 28)
Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumahtangga sangat dipengaruhi oleh keteguhan hati / ketenangan jiwa yang bergantung hanya kepada Allah sahaja.
Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumahtangga.
Rasulullah saw sendiri sentiasa memanjatkan doa agar mendapatkan keteguhan hati :
“Wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk tetap konsisten di atas DeenMu dan dalam mentaatiMu”.
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan :
  1. “Taqarrub ila Allah” (Pendekatan diri kepada Allah).
  2. “Ma’iyyatullah” (Merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktivitinya).
  3. “Muraqabatullah” (Merasa diawasi Allah dalam setiap tindakannya).
Perasaan tersebut perlu dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga melalui pembiasaan keluarga untuk melaksanakan ibadah ‘nafilah’ secara bertahap dan dimutabaah bersama seperti : tilawah, solat tahajjud, puasa, infaq, doa, bacaan ma’thurat dan lain-lain.
Pembiasaan dalam aktiviti tersebut boleh menjadi wasilah bagi menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga dan yang penting dapat menjadi wasilah untuk mencapai taqwa di mana Allah swt menjamin orang-orang yang bertaqwa sebagaimana firmanNya :
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar (penyelesaian) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (QS At Thalaq : 2-3)
 
KEINDAHAN KEBERKATAN KELUARGAKeberkatan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumahtangga samada kebahagiaan di dunia ataupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia boleh jadi tidak selalunya boleh disamakan dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabot yang serba mahal.
Hati yang sentiasa tenang dan fikiran serta perasaan yang sentiasa tenteram adalah bentuk kebahagiaan yang tidak boleh digantikan dengan kebendaan atau kemewahan.

Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika kita dapat sempurnakan dengan empat (4) perkara   sepertimana yang dinyatakan oleh Rasulullah saw :
  1. Isteri yang solehah.
  2. Rumah yang luas.
  3. Kenderaan yang nyaman.
  4. Jiran tetangga yang baik.
Kita boleh sahaja memanfaatkan kemudahan rumah yang luas dan kenderaan yang nyaman tanpa perlu memilikinya misalnya ketika kita melakukan perjalanan silaturahim ke rumah-rumah saudara mara dan sahabat handai kita.
Paling tidak, keterbatasan dari segi ekonomi yang ada seharusnya tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang dirasakan kerana pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala kenikmatan yang tidak terbatas bagi hamba-hambaNya yang bertaqwa dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai ujian.

Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat iaitu apabila dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita ke dalam syurgaNya. Itulah hakikat kejayaan hidup di dunia ini sebagaimana firmanNya :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sahajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran : 185)
Seterusnya, alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita bersama-sama suami / isteri dan anak-anak untuk masuk ke dalam syurga sebagaimana yang dikhabarkan oleh Allah swt dengan firmanNya :

“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS Az-Zukhruf : 70)

“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (QS Ath-Thuur : 21)
Inilah keberkatan yang hakiki di akhirat nanti.
Ya Allah, kurniakanlah kami isteri yang solehah dan anak-anak yang soleh dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang bertaqwa. Berikanlah kepada kami keturunan yang baik, sedap dipandang mata, yang Engkau Ridhai serta jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan solat. Kurniakanlah keberkatan dariMu dalam rumahtangga kami sehingga semua ahli keluarga kami dapat melaksanakan hak dan tangggungjawab mereka dengan baik serta tunduk dan patuh kepada setiap perintah dan laranganMu.
Ameen Ya Rabbal Alameen
WAS

Thursday, December 6, 2012

umm maryam's pregancy

Maryam turned out to be very pious, worshiped Allah at all times, received miracles of having food served at her mihrab from the sky, and became a very important part of the history.

You know what was the starting point? 3:35

"[Mention, O Muhammad], when the wife of 'Imran said, "My Lord, indeed I have pledged to You what is in my womb, consecrated [for Your service], so accept this from me. Indeed, You are the Hearing, the Knowing."

Indeed, tarbiyatulaulad starts from the mother!

Sunday, December 2, 2012

Pesanan Umamah Al-Harith Buat Sang Puteri

Wahai puteriku..
Sesungguhnya, jika nasihat ini kutinggalkan kerana keutamaan adab, tentu ia akan kutinggalkan hanya bagimu sahaja.

Tetapi, ini adalah pertolongan bagi orang yang lalai
dan pertolongan bagi orang yang berakal

Andai kata wanita tidak memerlukan suami kerana kekayaan orang tuanya
dan kerana kecintaan kedua orang tuanya kepada dirinya,
maka akulah orang yang paling tidak memerlukan suami.

Tetapi, 
wanita itu diciptakan untuk lelaki dan lelaki diciptakan untuk wanita

Wahai puteriku..
Engkau akan berpisah dengan rumah yang pernah bersatu denganmu dan meninggalkan tempat yang pernah membesarkanmu, menuju ke tempat yang belum engkau kenali dan pendamping yang belum pernah dekat denganmu.

Dengan kekuasaanya, dia akan menjadi pengawas dirimu dan orang yang akan menguasaimu.

Maka, jadilah diri sebagai abdinya, 
nescaya dia akan menjadi hamba yang patuh bagimu.

Jagalah sepuluh perkara, necaya akan menjadi simpanan bagimu, iaitu...


Pertama dan kedua ~ Tunduk kepadanya dengan penuh kerelaan, mendengar dan taat kepadanya dengan cara yang baik.

Ketiga dan keempat~ Memerhatikan sasaran mata dan hidungnya. Jangan sampai matanya melihat sesuatu yang buruk pada dirimu dan janganlah sampai dia mencium bau yang kurang enak dari dirimu.

Kelima dan keenam ~ Memerhatikan waktu tidur dan makannya kerana rasa lapar itu boleh membara dan rasa mengantuk itu boleh membakar sifat amarah.

Ketujuh dan kelapan ~ Menjaga hartanya,mengambil berat kerabat dan saudara-saudaranya. Kemampuan menjaga harta adalah mengukurnya dengan cara yang baik dan kemampuan menjaga saudara adalah dengan mengurus dengan cara yang baik.

Kesembilan dan kesepuluh ~ Janganlah ingkar perintahnya dan jangan membocorkan rahsianya. Sebab jika engkau ingkar perintahnya beerti engkau telah membakar dadanya dan jika engkau membocorkan rahsianya engkau tidak akan aman dari pengkhianatannya. Kemudian janganlah engkau menunjukkan kegembiraan di hadapannya ketika ia bersedih dan sebaliknya janganlah engkau menunjukkan kesedihan kepadanya jika dia dalam keadaan gembira.