Wednesday, February 27, 2013
Tuesday, February 26, 2013
Dalam menentukan pasangan hidup, tentunya di awal pernikahan kita harus benar-benar meluruskan niat, yakni menikah kerana Allah semata. Allah yang menjanjikan kita hidup berpasang-pasangan, dan Allah pula yang memerintahkan kita untuk menikah.
Bahkan, pernikahan pun tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin-Nya. Begitu pula kebahagiaan yang kita rasakan,tiada lain adalah kerana pertolongan-Nya.
Rasulullah SAW bersabda : " Barangsiapa memberi kerana Allah,menolak kerana Allah,mencintai kerana Allah,membenci kerana Allah,dan menikah kerana Allah,maka sempurnalah imannya" (H.R Abu Dawud)
Betapa indahnya jika proses pernikahan mengutamakan pertimbangan Lillah, Billah,dan Ilallah semata. Lillah berarti meniatkan pernikahan tersebut hanya kerana Allah. Billah berarti proses dan cara yang ditempuhi sesuai dengan ketentuan dari Allah.Termasuk di dalamnya adalah kriteria memilih calon suami atau isteri, dan proses menuju jenjang pernikahan pun tidak dinodai oleh kemaksiatan yang perturutkan hawa nafau.Terakhir adalah Ilallah, yakni meluruskan tujuan pernikahan untuk menggapai keridhaan Allah.
Sekali lagi, kebahagiaan dan hadiah istimewa ini hanya diberikan Allah kepada mereka yang menikah dengan landasan Lillah, Billah, dan Ilallah.
Kelab Ikram Mesir
Wednesday, February 6, 2013
isteri solehah
Seperti Apa Istri yang Shalihah Itu?
Rubrik: Wanita |
Oleh: Erwin Sulaiman - 29/01/13 | 10:30 | 16 Rabbi al-Awwal 1434 H
- Belum ada komentar dan ada 37 reaksi
- 3440 hits
Pemahaman seperti itu tidak salah –insya Allah- bila dilihat dari sisi kepentingan pribadi wanita itu sendiri. Akan tetapi, pemahaman itu masih kurang sempurna bila membaca hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan penjelasan beliau tentang definisi wanita shalihah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak ada perkara yang lebih bagus bagi seorang mukmin setelah bertaqwa kepada Allah daripada istri yang shalihah. (Yaitu), bila ia menyuruhnya maka ia mentaatinya, bila suami memandangnya membuat hati senang, bila bersumpah maka ia mendukungnya, dan bila ia pergi maka ia dengan tulus menjaga diri dan hartanya.” (HR. Ibnu Majah).
Dari Sa’ad bin Abi Waqqas rahimahullah, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Empat hal yang termasuk kebahagiaan, yaitu istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal termasuk penderitaan adalah tetangga yang buruk, istri yang buruk, kendaraan yang buruk dan tempat tinggal yang sempit. (HR. Ahmad).
Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, wanita shalihah merupakan salah satu sebab kebahagiaan dari empat sebab kebahagiaan. Dan sebaliknya, wanita yang tidak shalihah merupakan salah satu dari empat penyebab kesengsaraan. Hadits Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berikut mempertegas hal tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan di antara kebahagiaan adalah wanita shalihah. Jika engkau memandangnya, engkau akan kagum kepadanya. Dan jika engkau pergi darinya, engkau tetap merasa aman tentang dirinya dan hartamu. Dan di antara kesengsaraan adalah wanita yang apabila engkau memandangnya, engkau merasa enggan, lalu dia mengungkapkan kata-kata kotor kepadamu. Dan jika engkau pergi darinya, engkau tidak merasa aman atas dirinya dan hartamu.” (HR. Ibnu Hibban di dalam as-Silsilah ash-Shahihah, hadits no. 282).
Tampak jelas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan empat karakteristik wanita shalihah. Keshalihan seorang wanita tidak hanya terbatas pada banyaknya shalat, puasa, haji, umrah atau banyak berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Empat sifat atau akhlak di atas berkaitan dengan kepuasan dan ridha suami terhadap istri, dari mulai sikap mentaati, berhias, dan menjaga diri serta memelihara harta sang suami.
Seorang wanita, apabila shalat dengan baik, qiyamul-lail hingga kakinya bengkak, selalu berpuasa, dan lisannya senantiasa berdzikir serta berhijab dengan sempurna, ia tidak bisa disebut sebagai wanita shalihah apabila ia selalu melawan suami, berpenampilan kurang sedap di hadapan suami, bersikap kurang ramah dan tidak menjaga dirinya, serta membelanjakan harta suami tanpa seizinnya.
Oleh karenanya, keberadaan wanita shalihah semestinya dipandang dari tujuan utama dicipta wanita, yaitu berfungsi sebagi sumber ketenangan dan ketenteraman suami. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu dari istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar0benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/01/27369/seperti-apa-istri-yang-shalihah-itu/#ixzz2K6iRpFQH
anti bm
Anti-BM
Mungkin akan ada yang alergik atau tak
suka bila dibicara mengenai baitul muslim. Tak kurang juga yang
mengomel, “Sikit-sikit BM. Sikit-sikit BM. Itu je yang ikhwah tahu.”
<sambil buat muka muncung>
Tak kisahlah apa yang nak dikata. Posting
ini lebih kepada perkongsian dan pengalaman dakwah yang boleh kita
muhasabah bersama. Kalau-kalau ada yang pernah merasainya, atau sedang
berhadapan dengannya.
Pernah suatu ketika dahulu, saya pernah dimomokkan tentang satu frasa.
“Kahwin ini adalah alat untuk dakwah. Kalau kahwin akan melambatkan dakwah, tak payah kahwin.”
Ungkapan yang direct. Ada benarnya. Tapi
acap kali disalah guna. Konflik alat dan matlamat sering kali dijadikan
modal murobbi untuk mematikan hujah mutarobbi.
“Enta nak BM ni, amal qowiyy ke amal
dhoif?. Kalau melambatkan dakwah, jadi amal dhoif. So, tak payah
kahwin.” Ulas Sang Murobbi bila mutarobbi menyatakan hasrat untuk berBM.
Murobbi Yang Tidak Supportive Dalam Urusan BM
BM ini urusan yang sangat peribadi. Sang
Mutarobbi hanya akan luahkan hasrat hendak berBM kepada yang dekat
dengannya saja. Idealnya, yang paling dekat dengannya haruslah Sang
Murobbi.
Penyakit kita hari ini, murobbi cenderung
untuk tidak mengulas tentang BM, sama ada dalam taujihat mahupun
muayasyah dengan mutarobbi. Apatah lagi sekiranya murobbi itu sendiri
belum berBM.
Setiap kali diluahkan hasrat untuk berBM,
Sang Murobbi mula mengalih topik atau mematikan luahan tersebut dengan
hujah-hujah ‘alat vs matlamat’. Akhirnya, Sang Mutarobbi putus asa,
melupakan hasrat atau mula mencari-cari calon pasangan di luar.
Akhirnya, Sang Murobbi melabel Sang Mutarobbi – tidak meyakini fikrah, cair, kalah dengan godaan dunia dan macam-macam lagi.
Murobbi Tak Ditsiqahi
Ada mutarobbi yang tidak tsiqah dengan
murobbi bila tiba bab BM. Mereka cenderung mencari ‘orang lain’ untuk
mengurusi urusan yang besar ini. Boleh jadi yang dirujuk itu ‘orang
dalam sistem’, boleh jadi juga yang ‘diluar sistem’.
Kenapa agaknya terjadi begini? Boleh jadi
kerana murobbi tidak pernah bertanyakan tentang hasrat si mutarobbi.
Boleh jadi, si murobbi seringkali mengulang-ulang point yang berbaur
‘anti-BM’ dalam taujihat-taujihatnya. Boleh jadi juga, si murobbi, bila
dibicarakan tentang BM, mula berkerut muka, menunjukkan reaksi kurang
senang dan menyampah. Muhasabahlah.
Ana pernah mengenali seorang akhowat dari
Indonesia yang belum berBM, tapi ilmunya tentang BM sangatlah hebat.
Seolah-olah telah berkahwin bertahun-tahun. Nah, inilah contoh
murobbiyah yang ditsiqahi untuk menguruskan perihal BM mutarobbinya.
Janganlah sebab kita belum berBM, kita patahkan harapan mutarobbi kita untuk berBM. Tak bagi langkah bendul agaknya.
Tak Serius Bila Bicara Tentang BM
Ada juga penyakit usrah hari ini, tatkala
bicara mengenai BM, akan diselit gelak tawa dan gurauan yang melampau.
Seolah-olah hal itu bahan basahkan gusi. Gosip da’i barangkali. Lama
kelamaan, elemen kedua dalam marotib amal ini dipandang tidak lebih dari
sekadar penghidup suasana. Dalam usrah dan daurah yang penuh
keseriusan, bila dibuka topik BM, semua mula ‘hidup’ dan tidak
semena-mena menjadi hyperaktif.
Murobbi Yang Melambat-lambatkan Proses BM
Zaman sekarang semuanya mudah. Dengan
adanya email, FB, skype, smartphones, tablets dan macam-macam lagi,
seharusnya urusan BM ini menjadi lebih pantas dan tangkas. Malang bagi
sesetengah mutarobbi apabila murobbinya mengambil enteng urusan ini.
Sudah diamanahkan menjadi orang tengah, namun bermudah-mudah dalam
menyatukan dua jiwa. Borang BM yang dipohon ambil masa sehingga 2-3
bulan untuk siap dihantar. Emel tidak dibalas. Skype tiada respon.
“Afwan akhi. Ana tak sempat lagi nak
contact murobbiyah akhowat tu. Afwan sangat-sangat. Ana tengah sibuk
uruskan program itu dan ini. Nanti kalau dah dapat, ana beritahu
enta.” Alasan biasa seorang murobbi atau mas’ul. Dua tiga bulan berlalu,
masih tiada berita.
Gimana sih?
Usrahmates Yang Anti-BM
Boleh jadi juga, penyakit ini bukan
melibatkan murobbi tapi ahli usrah (usrahmates) yang tidak supportive
dalam urusan ini. Tambah-tambah lagi bila diri sendiri belum berBM atau
ada sentimen anti-BM. Penyakit ini amat bahaya dalam tarbiyyah usrah
itu.
Pabila salah seorang ahli usrah cuba
curhat tentang hasrtanya hendak berBM, usrahmates yang lain mula membuat
muka atau lebih teruk lagi, meninggalkan liqo’ serta-merta. Dengan
alasan ke toilet. Seolah-olah, menyampah benar dengan terminologi BM
ini. Bukankah ia salah satu tangga dalam rukun amal kita?
Mungkinkah sikap ini lahir dari perasaan
hasad kita terhadap usrahmates? Atau kerana kita sendiri memang ada
pemikiran, kahwin ini melambatkan dakwah? Atau kerana kita takut, bila
usrahmates kita sudah berBM, dia akan meninggalkan kita dan meluangkan
lebih banyak masa dengan bakal suami/isteri? Atau mungkin kita sendiri
memang ada perasaan anti-BM?
Kalau ada, cepat-cepatlah rawat.
BM Urusan Yang Mengubah Kehidupan
Ikhwah dan akhowat yang dirahmati Allah,
ketahuilah bahawa urusan pernikahan ini adalah sebuah urusan yang sangat
besar. Ia adalah turning point penting dalam perjalanan kehidupan
seseorang manusia. Urusan yang besar ini tidaklah mudah untuk diurusi
seorang diri. Perlunya sokongan dan dokongan daripada murobbi dan
usrahmates yang katanya meyakini jalan dakwah ini.
Jika dibiarkan ikhwah/akhowat menanggung
beban mengurus urusan BM seorang diri. Di mana letaknya rukun usrah yang
kita war-warkan sebelum ini – taaruf, tafahum, takaful.
Benarkah Kahwin Melambatkan Dakwah?
Sebelum memutuskan untuk berBM, ana
pernah bertanya beberapa orang qudama’ yang telah lama dalam dakwah
tentang persoalan ini. Soalan ana jelas, “Macam mana nak tahu kita
kahwin ni akan melambatkan dakwah, atau melajukan dakwah?”
Jawapan daripada para qudama’ yang ditanya ringkas tapi menjurus kepada maksud yang sama.
“Mana enta tahu kahwin tu akan melambatkan dakwah. Enta kahwin pun belum lagi.”
“Apa soalan enta tanya ni? Kalau dah rasa nak kahwin, dah cukup semua, kahwin je.”
“Mana ada neraca yang boleh ukur benda ni akhi. Enta BM je dulu. Lepas tu baru tahu.”
“As long as enta maintain dalam dakwah, BM ni pasti akan melajukan dakwah.”
Dengan tidak semena-mena, ana terus membuang jauh-jauh ungkapan yang ana pegang selama ini.
“Kalau kahwin melambatkan dakwah, jangan kahwin.”
Sebaliknya, ana gantikan dengan;
“Berkahwinlah. Sesungguhnya dengan
berkahwin itu, kita mengamalkan sunnah dan menyelesaikan separuh dari
agama. Termasuklah daripada agama itu ialah dakwah”
Monday, February 4, 2013
emotions vs logic
exactly.
received the same advice too from a married ukhti.
glad i took it, alhamdulillah.
May Allah give us blessings in this world and the aakhirah
He isn’t putting any pressure on me. I shared some of my concerns with him, and he said I should take all the time I need. This is probably the most real process I’ve ever been in. I’ve “talked” to guys before where the attraction was there, but there was no substance.
If I think about it logically, he has all the makings of a great partner. However, in this society, we are always taught to want better, to aspire for that feeling of getting the best, and I think that is preventing me from seeing a perfectly great guy for what he is. I can’t accept/commit because of wanting more, and I’m afraid that I will regret that way of thinking in the future. I just don’t know how to make the decision of marrying someone from the mind space of complete logic and practicality. I don’t know how to do it without feeling love, and maybe that is unrealistic Hollywood. How do I change that?
Answer:
It sounds like the person you’re talking to has all the qualities you’re looking for, but you are not sure about your level of attraction and feelings of love towards him.
Ask yourself this: If you were to fast forward a few years, would you have the same hesitations about this person? What is most important to you about a potential husband, and does this man have these characteristics?
Sometimes, in our attempt to seek something better, we overlook the blessings we have. You alluded to that, as you mentioned that you consider him to be a “perfectly great guy” otherwise.
Attraction is important, but often times, it’s the personality and the companionship that builds the attraction over time. If you align in all the important ways, and you feel that you both have a connection, and he is respectful and supportive, then those feelings of attraction and love will develop as you spend more time with him and as you take your relationship to another level.
Consider giving him a chance—it’s not wasted time. Relationship building takes time and a certain leap of faith. He sounds like he is a man with character and depth. If this is your first real and authentic experience, then ask yourself if you’re subconsciously drawing upon your experience talking to attractive men with no “substance” and pushing him away because of that.
Of course, it’s important not to settle in marriage just because you’re getting older. But if this person has all the characteristics you’re looking for, and your feelings are still developing towards him, then it might be wise to give him a chance and pray that God opens your heart.
Should I Consider Him for Marriage if I’m Not Attracted to Him?
WebbCounselors | September 3, 2012 5:00 am
He isn’t putting any pressure on me. I shared some of my concerns with him, and he said I should take all the time I need. This is probably the most real process I’ve ever been in. I’ve “talked” to guys before where the attraction was there, but there was no substance.
If I think about it logically, he has all the makings of a great partner. However, in this society, we are always taught to want better, to aspire for that feeling of getting the best, and I think that is preventing me from seeing a perfectly great guy for what he is. I can’t accept/commit because of wanting more, and I’m afraid that I will regret that way of thinking in the future. I just don’t know how to make the decision of marrying someone from the mind space of complete logic and practicality. I don’t know how to do it without feeling love, and maybe that is unrealistic Hollywood. How do I change that?
Answer:
It sounds like the person you’re talking to has all the qualities you’re looking for, but you are not sure about your level of attraction and feelings of love towards him.
Ask yourself this: If you were to fast forward a few years, would you have the same hesitations about this person? What is most important to you about a potential husband, and does this man have these characteristics?
Sometimes, in our attempt to seek something better, we overlook the blessings we have. You alluded to that, as you mentioned that you consider him to be a “perfectly great guy” otherwise.
Attraction is important, but often times, it’s the personality and the companionship that builds the attraction over time. If you align in all the important ways, and you feel that you both have a connection, and he is respectful and supportive, then those feelings of attraction and love will develop as you spend more time with him and as you take your relationship to another level.
Consider giving him a chance—it’s not wasted time. Relationship building takes time and a certain leap of faith. He sounds like he is a man with character and depth. If this is your first real and authentic experience, then ask yourself if you’re subconsciously drawing upon your experience talking to attractive men with no “substance” and pushing him away because of that.
Of course, it’s important not to settle in marriage just because you’re getting older. But if this person has all the characteristics you’re looking for, and your feelings are still developing towards him, then it might be wise to give him a chance and pray that God opens your heart.
Subscribe to:
Posts (Atom)