____
Suamiku, Mulai Saat Itu, Aku Mencintaimu Rubrik: Pendidikan Keluarga | Oleh: Ninin Kholida M, SPsi. MKes. - 18/01/13 | 15:30 | 05 Rabbi al-Awwal 1434 H Ada 1 komentar dan ada 35 reaksi 3017 hits Email 3 email Ilustrasi (inet) Ilustrasi (inet) dakwatuna.com - Akhirnya saat itu tiba. Dari dua masa yang berbeda. Dari dua sejarah yang berbeda. Dari dua isi kepala yang berbeda. Dipertemukan Allah pada titik itu, untuk sebuah perjalanan bersama. Ya, dari titik itu: ijab qabul. Dari titik itu aku belajar untuk menerima masa lalumu, apapun itu. Lalu menerima sebuah kenyataan bahwa, semua itu telah berlalu, tak bisa diubah dan telah mewarnai hidupmu. Tentang masa lalu itu, dari titik itu aku mengikhlaskannya untuk menjadi masa lalumu. Maka ikhlaskan pula masa laluku. Tak perlu kita buka kembali luka atau dosa. Biarkan kita menjadikan taubat sebagai pembersih, maaf sebagai obat dan doa sebagai penyembuh. “Tidaklah Allah memberikan tambahan kemuliaan kepada seorang hamba yang suka memaafkan, melainkan kemuliaan” (HR Muslim) Tapi kau harus tetap bercerita dirimu dulu, agar aku memahami alasan yang tak tampak dari wujud-wujud watak dan perilaku yang kau tampakkan. Ya, bukankah sejarah selalu membuat kita belajar untuk mendapatkan hikmah. Mendapatkan pengertian atas berbagai peristiwa, lalu menjadikan diri waspada untuk tak mengulangi kesalahan yang sama. Dan aku pun akan perlahan-lahan bercerita padamu, tentang masa laluku. Masa yang membentuk selera, kebiasaan, ketakutan dan harapanku. Aku tak mau menebak-nebak, mari bicara saja dengan penuh pengertian, perlahan-lahan. Titik itu bernama ijab qabul. Hanya berlangsung beberapa menit, namun atsarnya menggetarkan jiwa, mengguncang arsy Allah. Dari titik itu kita bertolak menuju buku catatan baru yang berjudul pernikahan. Buku yang kelak akan dibuka dan dipertanggungjawabkan saat yaumil hisab tiba. Lalu kita masing-masing akan menghadap Allah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan saat berdua mengarungi bahtera rumahtangga. Titik itu bernama ijab qabul. Kau mengikrarkan sumpah di hadapan Allah, bersaksi atas nama Allah, dan mengikhlaskan diri untuk sepaket tanggungjawab atas konsekuensi sumpah itu. Kau bilang tanganmu dingin dan jantungmu berdegup kencang, aku juga sama. Aku bahkan menangis dan merasa lunglai mendengarkan kata demi kata, saat kau mengucapkan ijab, lalu waliku mengabulkannya, dan penghulu dan para saksi mengucapkan “sah”. Aku masih mengingatnya, rasanya luar biasa. Aku merasakan getaran yang aneh di jiwa, membayangkan bahwa Allah menjadi saksi setiap detik kejadian saat itu. Ya, di hadapan Allah, dengan Nama Allah. Dalam penglihatan, pendengaran dan pengetahuan Allah, kita telah membuat sumpah. Setiap kali mengingatnya, aku merasakan energi baru yang luar biasa. Kita beserta Allah. Allah beserta kita. Bukankah kita meniatkan pernikahan ini sebagai ibadah pada Allah. Berikhtiar menjaga prosesnya agar mendapatkan keberkahan dan ridha dari Allah. Ya, mengingat kembali bahwa kita berusaha menikah di jalan Allah, membuat hatiku tenteram adanya. Mengingatnya membuat keyakinan begitu mencengkeram jiwa, menggeser semua keraguan, kecemasan dan kekhawatiran yang tadinya ada. Bukankah kelemahan kita bersandar pada Kemahakuasaan Allah? Aku tahu, pernikahan ini akan membawa kita pada konsekuensi yang tak mudah. Tapi bukankah kini kita telah diikat dengan tali Allah menjadi sebuah tim yang bernama suami istri. Ya, dari titik itu kita telah menjadi sebuah tim, untuk bersama melipatgandakan energi dan kekuatan agar menjadi orang-orang yang mendapatkan pertolongan Allah. Bukankah dengan pertolongan Allah, semua yang mustahil akan menjadi mudah? Maka dari titik itu, aku berpikir bahwa mencintaimu bukan hal lagi yang mustahil. Dari titik itu, aku meminta pada Allah yang menciptakan cinta dan kasih sayang, jadikan aku mencintaimu karena Allah. Saat melangkah menuju pelaminan, setiap langkah aku meminta pada Allah agar menumbuhkan cinta dalam hatiku, cinta yang ikhlas padamu karena Allah. Dan saat aku mencium tanganmu, dan malu-malu memandang kedua matamu. Dadaku berdegup kencang, aku merasa saat itu aku telah jatuh cinta padamu. Ya, suamiku… aku mencintaimu. Engkau adalah jodohku. Laki-laki yang dipilihkan Allah untuk menjadi jodohku. Titik itu membawa kita pada sepaket peran dan tanggungjawab baru. Sebagai suami, istri, menantu, ipar, orang tua dan anggota masyarakat. Ya, seketika itu juga. Dan kita tak punya pilihan untuk mengatakan tidak, tak punya pilihan untuk menolak; karena kita telah menerimanya. Maka hari-hari setelah itu adalah perjuangan untuk menjadikan jiwa ikhlas menjalankan semua peran dan kewajiban. Melapangkan dada dengan kesabaran. Memenuhi jiwa dengan keyakinan, harapan dan cinta yang penuh pada Allah. Lalu bersyukur bahwa Allah telah mempertemukan kita untuk berjuang bersama menggapai ridha-Nya. Aku sadar bahwa dari titik itu aku harus tumbuh bersamamu, memperbaiki kualitas hubungan kemanusiaan kita. Kita berdua harus sama-sama berusaha jujur, lurus, ridha dan saling menasihati dengan ma’ruf. Kualitas kebersamaan kita, akan menentukan kualitas anak-anak kita, keluarga kita. Karena kita hanya manusia, maka mari bekerja sama. Hanya dengan cinta, keikhlasan, kesabaran dan rasa syukur yang membuat pernikahan ini menjadi bahagia. Cinta, ikhlas, sabar dan syukur adalah jiwa dari setiap amal. Tanpa cinta, ketaatan hanya akan beban. Tanpa ikhlas, amal hanya jadi penggugur tugas, tak berbobot di hadapan Allah. Tanpa kesabaran, amal akan cacat, tak tuntas sempurna. Tanpa syukur, setiap pencapaian dari amal tak akan berbekas di hati, dan jiwa akan terus lapar dengan ambisi yang tak ada habisnya. Dari titik itu, mari kita bergandengan tangan. Setia meniti setiap jalan perjuangan. Menghadapi semua tantangan dengan ikhlas. Saling mengingatkan dengan sebaik-baik cara, agar kelalaian tak membuat kita keluar dari jalan kebenaran. Mari berjalan berdampingan, tidak saling meninggalkan. Saat kau ingin mempercepat langkah, bantu aku untuk mengetahui bagaimana caranya. Saat kau lelah, mari bersama memperbaiki cadangan energi jiwa kita. Dari titik itu, aku tahu cinta kita bermakna. Karena ia adalah energi untuk melejitkan kebaikan jiwa, memancarkan energi kebaikannya pada semesta. Keberkahan cinta, yang menjadikan manfaatnya dirasakan seluruh makhluk. Keridhaan Allah atas cinta kita, menjadikan jejaknya terus terukir melalui amal shalih anak keturunan kita. Ya, selama kita masih setia memelihara kesucian cinta. Cinta yang berawal dan berakhir pada Allah. Dari titik itu, aku tahu kita harus terus berusaha. Memperbaiki cara kita mencintai Allah, agar Allah menunjukkan jalan-jalan untuk menyempurnakan jiwa kita dalam saling mencintai. “Suamiku, sungguh aku mencintaimu karena Allah”. Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2013/01/26951/suamiku-mulai-saat-itu-aku-mencintaimu/#ixzz2IYajz2Fq
No comments:
Post a Comment